Sleman, Haluanberantas.com – Ketika banjir merendam rumah, memutus listrik, dan memisahkan komunikasi antara anak dan orang tua di Aceh, rasa cemas itu ikut menetap di Yogyakarta. Di asrama-asrama mahasiswa Aceh, rindu dan kekhawatiran menyatu. Di tengah situasi itulah, solidaritas kemanusiaan datang mengetuk pintu.
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Kabupaten Sleman menyambangi Asrama Mahasiswi Aceh “Cut Nyak Dien”, Sabtu (13/12/2025), membawa lebih dari sekadar bantuan logistik – mereka membawa pesan bahwa mahasiswa Aceh tidak berjuang sendirian.
Kunjungan tersebut menjadi ruang pertemuan empati. Dipimpin Ketua DPD IWO Indonesia Sleman, Yupiter Ome, rombongan hadir bersama Bendahara Fatmawati, Bidang OKK Harginingsih dan Mukhlis Mustofa, Bidang Humas Joni, serta Bidang Usaha Organisasi Prio Adi, Agus Wardi Utama, dan Bidin Sutrisno.
“Bencana ini bukan hanya merusak bangunan, tetapi juga memukul batin keluarga dan anak-anak mereka yang sedang berjuang menempuh pendidikan,” ujar Yupiter Ome. Ia menegaskan, kehadiran IWO Sleman adalah bentuk solidaritas dan kepedulian kemanusiaan kepada mahasiswa Aceh yang terdampak secara tidak langsung.
Sebagai wujud nyata, IWO Indonesia Sleman menyerahkan bantuan kebutuhan pokok untuk dapur umum asrama, berupa beras, mi instan, telur, minyak goreng, kopi, dan gula. Bantuan tersebut dihimpun dari wartawan dan para penasihat organisasi.
“Ini adalah gotong royong kecil dengan harapan besar: meringankan beban dan menguatkan semangat,” tambahnya.
Di hadapan para mahasiswa, Yupiter juga menyampaikan doa agar wilayah Aceh dan Sumatera Barat segera pulih. Ia mengajak mahasiswa untuk tetap teguh menyelesaikan pendidikan, meski keluarga di kampung halaman tengah diuji bencana.
“Kalian adalah harapan masa depan Aceh. Tetap kuat,” pesannya.
Ungkapan terima kasih disampaikan Sekretaris Umum Organisasi Mahasiswa Aceh di Yogyakarta, M. Hafiz Jauhari. Ia menyebut kehadiran IWO Indonesia Sleman sebagai dukungan moral yang sangat berarti.
“Ketika komunikasi dengan orang tua terputus dan kondisi belum menentu, kehadiran seperti ini memberi kami kekuatan,” ujarnya.
Jauhari menjelaskan, sekitar 2.600 mahasiswa Aceh saat ini menempuh pendidikan di Yogyakarta dan tersebar di 10 asrama. Sebanyak 167 mahasiswa tercatat memiliki orang tua yang terdampak banjir, dan 20 di antaranya kehilangan tempat tinggal, terutama di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, dan Aceh Tamiang.
Kondisi pascabencana masih menyisakan persoalan serius. Infrastruktur komunikasi rusak, banyak menara BTS roboh, membuat mahasiswa kesulitan menghubungi keluarga.
“Bantuan kuota memang ada, tetapi jaringan belum stabil. Banyak dari kami masih menunggu kabar orang tua,” kata Jauhari.
Organisasi mahasiswa telah mengajukan permohonan dukungan kepada Pemerintah Daerah DIY, termasuk bantuan biaya hidup dan keringanan biaya kuliah, mengingat banyak orang tua kini berada di pengungsian dan belum dapat menopang kebutuhan anak-anak mereka.
Di balik data tersebut, tersimpan kisah pilu. Muhammad Zul Asmi, mahasiswa UPN Yogyakarta asal Aceh Tamiang, mengaku hingga kini belum bisa berkomunikasi dengan orang tuanya.
“Mereka pedagang kecil. Sekarang masih di pengungsian,” tuturnya singkat.
Aditya, mahasiswa asal Lhokseumawe, menceritakan rumah keluarganya sempat terendam banjir setinggi pinggang orang dewasa. Listrik belum pulih, komunikasi terputus. “Harapan kami sederhana. Aceh segera pulih,” ucapnya.
Di tengah keterbatasan dan jarak, kunjungan IWO Indonesia Sleman menjadi pengingat bahwa di saat bencana memisahkan, kepedulian justru menyatukan. Solidaritas itu mengalir, dari Sleman, untuk Aceh.







